Banyak orang yang percaya, mobil listrik merupakan kendaraan yang sepenuhnya ramah terhadap lingkungan. Bahkan, pada sejumlah kampanye, mobil listrik sering dianggap sebagai ‘jalan keluar’ dari tingginya tingkat polusi udara yang terjadi di dunia.
Namun, Mobil listrik ternyata tidak sepenuhnya ramah lingkungan.
Tidak banyak yang yang tahu, mobil listrik sebenarnya tak sepenuhnya ramah terhadap lingkungan. Sebab, kendaraan bersuara senyap tersebut memerlukan daya listrik yang sumbernya berasal dari energi fosil seperti solar dan juga batu bara.
Setidaknya itu yang disampaikan oleh pengamat otomotif sekaligus akademis di Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Pasaribu saat melakukan perbincangan dengan detikOto.
“Mobil listrik sebenarnya tidak sepenuhnya ramah lingkungan. Sebab, listriknya itu dari PLN yang kurang lebih 35 persennya pakai energi fosil, seperti solar dan batu bara. Jadi sebenarnya enggak go green juga, kan.” ungkap Yannes kepada detikOto, pada Selasa (13/9/2022).
Meski demikian, menurut Yannes, kalau dibandingkan secara apple to apple antara mobil bensin dan mobil listrik, masih tetap lebih ramah lingkungan mobil listrik. Sebab, meski sedikit mirip dengan pengisian dayanya, namun kendaraan tersebut tak menghasilkan gas buang seperti yang terjadi pada kendaraan bensin.
“Kendaraan yang pure electric kan sebenarnya non emisi karbon kalau sumber energi listriknya benar. Jadi itu tetap lebih baik dibandingkan mobil bensin,” bebernya.
Yannes juga mengingatkan, untuk menyongsong program elektrifikasi jangka panjang, pemerintah seharusnya bisa membenahi sumber daya atau sumber penghasil energi yang saat ini digunakan untuk kendaraan listrik agar bisa menjadi sumber energi yang terbarukan.
“Pokoknya ingat, jangan pakai sumber energi fosil, ya,” pinta Yannes.
Sementara itu untuk limbah baterai dari kendaraan listrik, menurutnya bukan menjadi tantangan besar. Sebab, kata dia, limbah tersebut bisa didaur ulang dengan menggunakan teknologi yang ada sekarang.
“Kalau limbah baterai sebetulnya bisa didaur ulang, kurang lebih 95 persennya bisa dipakai kembali, di-recycle. Tapi tentunya perlu teknologi,” pungkas Yannes.