Akhir-akhir ini, masyarakat kembali diingatkan akan risiko yang mungkin muncul dari mengonsumsi minuman manis yang tinggi akan gula. Hal tersebut dipicu oleh permasalahan yang muncul di media sosial yang berujung pada meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap konsumsi gula harian.
Mengonsumsi gula berlebihan dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Terlebih lagi, jika mengonsumsi minuman seperti es teh dengan gula tinggi secara rutin ternyata punya kaitan secara tidak langsung dengan penyakit jantung.
“Ini lagi viral ya menambahkan gula di es teh, es teh Indonesia memang sukanya es teh manis ya. Sebenarnya asosiasi langsung (antara minum es teh manis dengan pnyakit jantung) tidak ada,” ungkap Ketua PP PERKI dr Radityo Prakoso dalam acara memperingati Hari Jantung Sedunia (HJS) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI beberapa waktu yang lalu.
“Tetapi kembali lagi, penyakit jantung koroner itu ada faktor risiko. Salah satunya adalah diabetes melitus. Kalau diabetes melitus, penambahan gula, glukosa di es teh itu akan sangat cepat meningkatkan gula darah, dan itu yang menjadi komorbid,” sambung dr Prakoso.
Prakoso mengungkapkan bahwa hubungan secara langsung antara minum es teh manis rutin dengan penyakit jantung sebenarnya tidak ada. Hanya saja kebiasaan tersebut bila dilakukan secara terus-menerus maka akan dapat menimbulkan faktor risiko penyakit jantung.
“Ini yang akan gula darah tidak terkendali dan akhirnya menjadi komorbid yang akan mem-promote terjadinya serangan jantung,” ucap Prakoso.
Dalam kesempatan yang sama, juga turut hadir Direktur P2PTM Kemenkes RI, dr Eva Susanti. Menurut dr Eva, sangat penting untuk membatasi asupan gula yang masuk ke dalam tubuh.
“Itu tidak boleh lebih dari 50 miligram per hari atau sekitar empat sendok makan. Nah, ini sebenarnya marak di negara-negara yang memang sudah banyak obesitasnya. Lebih direndahkan lagi jadi sekitar 25 miligram per hari,” tambah Eva.
“Kenapa? Karena gula ini akan menyebabkan terjadinya obesitas yang akan memicu terjadinya diabetes. Nanti ketika diabetes tidak terkontrol, ini akan memicu juga terjadinya penyakit jantung. Memang agak panjang jalannya, tapi kita harus tetap ingat kalau harus menghindari faktor risiko,” tambahnya.
Menurunkan Risiko Penyakit Jantung
Menurut Prakoso, sebanyak 80 persen kasus penyakit jantung ternyata dapat dicegah dengan menurunkan faktor risikonya. Faktor risiko penyakit jantung sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang dapat diubah dan tidak dapat diubah.
“Yang tidak dapat diubah itu apa? Riwayat keluarga dengan penyakit jantung, usia, jenis kelamin, dan etnis atau ras. Tapi yang dapat diubah apa? Kebiasaan merokok, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, gaya hidup sedenter, obesitas, diabetes, kebiasaan makan makanan berlemak, dan konsumsi alkohol,” kata Prakoso.
Prakoso mengungkapkan bahwa gaya hidup yang tidak sehat di masyarakat itulah yang menjadi penyebab paling umum dari penyakit jantung ini. Bahkan sebuah data menunjukkan bahwa orang yang gemar mengonsumsi fast food dua kali dalam sehari juga dapat berkontribusi.
Hal tersebut dikarenakan mengonsumsi fast food dapat menginduksi terjadinya inflamasi yang berperan dalam pembentukan plak di pembuluh darah, yang mana plak tersebut dapat meningkatkan risiko penyakit jantung.
Di sisi lain, faktor-faktor seperti stres akademis, manajemen waktu yang terbilang buruk, kurang tersedianya opsi makanan sehat, kepraktisan pun dapat berkontribusi pada munculnya penyakit jantung terutama pada usia muda.