Kucing merupakan salah satu hewan yang paling banyak dipelihara oleh manusia. Sebagai salah satu hewan kesayangan, anabul ini tidak termasuk ke dalam hewan ternak konsumsi. Apa alasannya?
Dosen Kesehatan Masyarakat Veteriner SIKIA Universitas Airlangga (Unair), Prima Ayu Wibawati menyatakan, mengonsumsi daging kucing sangatlah tidak etis.
Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diubah dengan UU 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009.
“Dari UU itu, daging kucing bukan produk hewan yang masuk kriteria dikonsumsi manusia. Jadi ini merupakan tindakan penyalahgunaan. Apapun alasan (konsumsi) hanyalah dalih untuk menghalalkan dan membenarkan pendapat pengkonsumsi tersebut,” ungkapnya dalam situs Unair yang dikutip, Sabtu (22/10/2022).
Kemudian, Prima menjelaskan bahwa ada tiga alasan daging kucing tidak boleh dikonsumsi manusia. Berikut alasannya.
3 Alasan Kenapa Daging Kucing Tidak Boleh Dikonsumsi
1. Tak Ada Jaminan Aman Konsumsi
Di Indonesia ada kebijakan yang terkait pemotongan hewan di Rumah Potong Hewan (RPH). Hal ini berhubungan dengan perlindungan bagi konsumen, yaitu untuk memastikan konsumen mendapatkan produk yang aman untuk dikonsumsi, sehat, dan utuh, serta halal (untuk hewan yang halal). Sehingga dapat memastikan jika hewan tersebut memang layak untuk dipotong untuk selanjutnya dikonsumsi.
Prima menyebutkan tidak ada standardisasi pemotongan kucing hingga pemanfaatannya. Sehingga memang tidak ada jaminan keamanan untuk dikonsumsi oleh manusia.
“Sudah jelas jaminan keamanannya tidak ada. Mulai dari penangkapan, transportasi ternak hingga bagaimana cara penyembelihannya, kita gak tahu. Mungkin saja kucing memiliki bibit penyakit,” sambung Prima.
2. Potensi Bahaya Meat Borne Disease
Meat Borne Disease adalah suatu penyakit yang muncul akibat dari mengonsumsi daging kucing. Berbagai penyakit meat borne disease seperti Tubercolosis, Brucellosis, Salmonellosis, Botulism, Staphylococcal Meat Intoxication, Taeniasis, Trichinosis hingga Clostridiosis berpotensi menginfeksi orang-orang yang nekat konsumsi daging kucing. Bahkan yang paling serius adalah infeksi rabies pun dapat menyerang.
“Dikhawatirkan, berbagai penyakit dari meat borne disease berpotensi menginfeksi orang yang makan. Selain itu kucing merupakan reservior rabies, jadi apabila memang memiliki virus rabies. Maka juga potensi zoonosisnya juga sangat tinggi,” tuturnya.
3. Bentuk Pelanggaran Animal Welfare
Selain karena alasan kucing adalah hewan peliharaan non konsumsi, asal usul kucing pun juga harus diperhatikan.
“Bisa dibayangkan, sebenarnya kucing tersebut didapat dari mana, bisa juga merupakan kucing peliharaan yang dicuri. Tindakan pemotongan juga sudah pasti tidak berperikehewanan, karena memang bukan produk pangan yang ada standar pemotongannya,” jelasnya.
Cara Edukasi Bahaya Konsumsi Daging Kucing
Prima menyebutkan bahwa ada banyak organisasi yang mengecam tindakan konsumsi daging kucing. Akan tetapi kecaman itu juga harus diikuti dengan upaya edukasi kepada masyarakat dengan menyesuaikan psikologis target.
Masih menurut Prima, perlu ada pendekatan secara agama, kesehatan masyarakat veteriner, potensi penyakit hingga legislasi untuk dapat menekan angka konsumsi daging kucing di tengah-tengah masyarakat.
“Jika pada muslim dapat ditekankan soal keharamannya, apabila ke nonmuslim bisa disosialisasikan mengenai penyakit yang bisa ditularkan dan sisi kesayangan terhadap hewan,” ungkapnya.
Selain itu untuk daerah tertentu yang memiliki tradisi konsumsi daging kucing, memerlukan perhatian psikologis bagi anak-anak usia dini. Sehingga kita dapat memutus rantai konsumsi daging kucing secara perlahan dari jenjang usia.
“Cara edukasi bagi daerah yang ada adat tradisi lebih susah lagi, tapi kita bisa menggunakan cara yang memberikan dampak psikologis bagi anak terkait pemotongan kucingnya. Pendekatannya adalah kucing kan harus disayang, jadi gak boleh dibunuh apalagi dimakan,” tutup Prima.